Saatini, Indonesa telah menjadi negara dengan Mayoritas penduduknya beragama Islam. Jumlah penganut agama Islam diperkirakan mencapai 199.959.285 jiwa yang berarti sekitar 85,2% dari totol penduduk indonesia. Meskipun proses perkembangan islam di Indonesia cukup panjang, namun Islam merupakan Agama yang sangat mudah di terima oleh masyarakat.
Penyebaran syiar Islam di Nusantara terjadi secara bertahap setidaknya sejak abad ke-13 M. Proses itu pun cenderung berbeda-beda di tiap wilayah Indonesia. Pada faktanya, setiap pulau memiliki tokoh-tokoh mubaligh serta kekhasan dakwah masing-masing. Sebagai contoh, di Jawa terdapat Wali Songo yang tidak hanya aktif menyampaikan risalah Islam, tetapi juga sebagian di antaranya terlihat dalam pemerintahan. Bagaimanapun, kemajemukan proses itu memiliki corak yang sama. Misalnya, penerimaan masyarakat setempat pada ajaran-ajaran tasawuf. Sejauh ini, ada cukup banyak penelitian tentang masuk dan tersebarnya ajaran-ajaran sufi di Nusantara. Salah satu akademisi yang turut menelaah hal tersebut ialah M Solihin. Guru besar ilmu tasawuf dari Universitas Islam Negeri UIN Sunan Gunung Djati itu menuangkan hasil risetnya dalam sebuah karya bertajuk Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara. Menurut dia, diskusi mengenai sejarah tasawuf di Indonesia penting dikaji. Sebab, peran diskursus itu sangat signifikan dalam syiar Islam secara keseluruhan di negeri ini. Buku itu terdiri atas enam bab. Pada bagian pertama, Solihin mengulas sejarah dan pemikiran tasawuf di Aceh. Ia memulai pembahasan dengan topik sejarah masuknya Islam di Bumi Serambi Makkah. Selanjutnya, perihal pendekatan sufistik dalam syiar agama tauhid di sana. Ada beberapa tokoh sufi Aceh yang dibicarakannya. Di antaranya ialah Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Nuruddin ar-Raniri, serta Abdurrauf as-Sinkili. Bab kedua membicarakan sejarah dan dialektika tasawuf di Sumatra Barat. Ada tiga tokoh yang dibahas dalam bagian ini. Mereka adalah Syekh Burhanuddin Ulakkan, Syekh Ismail bin Abdullah al-Khalidi, dan Syekh Muhammad Jamil Jambek. Bab keempat berlanjut pada Sumatra Selatan. Ada lebih banyak sufi yang dibahas dalam bagian ini. Di antaranya ialah Muhammad Ma’ruf bin Abdallah, Shihabuddin bin Abdallah Muhammad, serta Abdul Shamad al-Palimbani. Bab kelima tampil lebih tebal daripada yang lainnya dalam buku karya Solihin ini. Penulisnya pertama-tama menyuguhkan narasi tentang awal mula syiar Islam di Tanah Jawa. Selanjutnya, pembahasan berkaitan dengan peran dan pemikiran Wali Songo. Ada beberapa tokoh lainnya yang turut dibicarakan. Misalnya, Syekh Siti Jenar, Ronggowarsito, dan Haji Hasan Mustapa. Yang terasa cukup unik pada bagian ini, profesor ilmu tasawuf itu juga menyertakan profil Abah Sepuh dan Abah Anom dari Pesantren Suryalaya. Setidaknya hingga zaman Orde Baru atau Reformasi, pengaruh keduanya masih terasa bagi sebagian masyarakat, khususnya warga Jawa Barat. Pada bab terakhir, penulis memaparkan sejarah dan pemikiran tasawuf di Sulawesi. Ia membuka paparannya dengan narasi tentang histori Kesultanan Buton. Kerajaan Islam ini dinilai berperan besar dalam menumbuhkan diseminasi ajaran tasawuf. Pemikiran tokoh Mungkin, alasan bahwa topik sejarah Aceh ditempatkan pada posisi pertama dalam buku ini tidak sekadar faktor geografis. Daerah tersebut memang wilayah paling barat di Indonesia. Namun, peran Tanah Rencong sejatinya sangat besar dalam penyebaran syiar Islam di Nusantara. Menurut Solihin, Aceh berposisi penting dalam konteks sejarah tasawuf di Indonesia. Pertama-tama, kultur masyarakat setempat tidak dapat dipisahkan dari setting Islam. Bahkan, agama tersebut merupakan identitas mereka. Maka, wajarlah kiranya bila Aceh memunculkan banyak sufi yang berpengaruh besar. Sebut saja, Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Nuruddin ar-Raniri, serta Abdurrauf as-Sinkili. Masing-masing mereka mengusung ide-ide yang kontemplatif terkait tasawuf. Sebagai contoh, Abdurrauf as-Sinkili. Solihin mengatakan, tokoh tersebut berupaya melakukan “rekonsiliasi” antara tasawuf dan syariat. Kendati demikian, ajaran tasawuf as-Sinkili dalam beberapa hal mirip dengan Syamsuddin as-Sumatrani dan Nuruddin al-Raniri. Misalnya, paham bahwa satu-satunya wujud hakiki ialah Allah SWT. Adapun alam ciptaan-Nya bukanlah wujud hakiki, melainkan hanya bayangan dari yang hakiki. Menurut al-Singkili, jelaslah bahwa Allah berbeda dengan alam. Walaupun demikian, antara bayangan alam dan yang memancarkan bayangan Allah tentu memperoleh keserupaan. Maka, sifat-sifat manusia adalah bayangan-bayangan Allah. Contohnya, sifat yang hidup, yang tahu, dan yang melihat. Pada hakikatnya, setiap perbuatan adalah perbuatan Allah. Selain itu, as-Sinkili juga mengusung pemikiran tentang zikir. Dalam pandangannya, zikir adalah suatu usaha untuk melepaskan diri dari sifat lalai dan lupa. Ajaran tasawufnya juga bertalian dengan martabat perwujudan, yang dijelaskan secara lebih rinci dalam buku ini. Pada bab-bab selanjutnya, penulis kemudian mengupas tentang sejarah dan pemikiran tasawuf di Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sulawesi, dan Kalimantan. Sedangkan untuk pembahasan tentang pemikiran tasawuf di Pulau Jawa sendiri dibahas di dalam bab kelima. Pemikiran tasawuf di Pulau Jawa menjadi pembahasan yang menarik dalam buku ini. Tentunya, Wali Songo menjadi figur yang banyak dibahas. Solihin menuturkan, proses Islamisasi yang dilakukan para sembilan ulama itu berlangsung pada abad ke-15. Masa itu bertepatan dengan era Kesultanan Demak. Yang disebut sebagai wali sembilan itu ialah Sunan Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati. Metode dakwah mereka ialah menanamkan nilai-nilai ajaran Islam melalui keteladanan yang baik. Dengan demikian, dakwah tidak sekadar ucapan, melainkan juga tindakan dan laku hidup. Karena itu, para sejarawan menilai, kesembilan wali itu mensyiarkan Islam di Indonesia dengan cara yang tidak konfrontatif terhadap budaya lokal. Bahkan, beberapa ekspresi kultural masyarakat diadopsi sebagai medium dakwah yang efektif. Solihin mengungkapkan, para Wali Songo tidak meninggalkan karya-karya tulis, sebagaimana halnya para sufi di Sumatra. Bagaimanapun, legasi mereka tetap dapat dikaji. Hal itu tampak dari tulisan-tulisan para murid atau pengikutnya dalam pelbagai manuskrip berbahasa Jawa. Berdasarkan pemikiran dan praktik-praktik yang dijelaskan dalam buku ini, maka corak tasawuf yang dianut oleh para wali itu adalah tasawuf sunni. Menurut penulis, hal ini bisa dilihat pada kecenderungan mereka terhadap tokoh-tokoh dari pusat dunia Islam, seperti Imam al-Ghazali. Para wali kerap menjadikan karya-karya sang Hujjatul Islam sebagai bahan dakwah mereka. Solihin mengatakan, bukti nyata mengenai hal ini terdapat dalam menuskrip yang ditemukan Drewes. Naksah itu diperkirakan muncul pada masa transisi dari Hinduisme ke Islam. Di dalamnya, terdapat beberapa paragraf cuplikan dari kitab Bidayah al-Hidayah karangan Imam al-Ghazali. Di samping itu, juga tertulis informasi-informasi tentang ajaran Wali Songo yang sangat bertentangan dengan pemikiran pantheisme. Demikian juga tulisan generasi berikutnya yang meriwayatkan ajaran-ajaran Wali Songo. Mereka justru menghindarkan diri dari tulisan-tulisan Ibnu Arabi, seperti Futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam. Di bagian akhir buku ini, Solihin menyimpulkan bahwa tasawuf yang singgah pertama kali di Aceh memiliki corak falsafi. Tasawuf falasafi ini begitu kuat tersebar dan dianut oleh sebagaian masyarakat Aceh, dengan tokoh-tokoh utamanya adalah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani. Dua tokoh sufi-falsafi ini memiliki pengaruh cukup besar hingga tersebar ke daerah-daerah di Nusantara. Kehadiran tasawuf yang bercorak falsafi tersebut kemudian disusul oleh tasawuf yang bercorak Sunni. Kedatangan tasawuf Sunni menjadi semacam koreksi terhadap pemahaman tasawuf falsafi yang cenderung “manut” pada ajaran-ajaran Ibnu Arabi, al-Jilli, dan bahkan al-Hallaj. Dengan munculnya dua aliran tasawuf ini menunjukkan bahwa di Indonesia terjadi polemik yang tarik menarik antar keduanya. Masing-masing corak tasawuf mempunyai argumen-argumen yang menguatkan masing-masing aliran tasawuf tersebut. Namun, pada akhirnya yang menjadi dominan di Nusantara hingga kini adalah tasawuf Sunni. Buku ini menyuguhkan pemikiran-pemikiran tasawuf dari para tokoh sufi di Nusantara. Kendati demikian, sebenarnya masih banyak tokoh sufi Nusantara lainnya yang masih belum terekam dalam Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara. Karena itu, kiranya para pembaca masih membutuhkan kajian lanjutan dari sumber-sumber lainnya. Karya Solihin ini memuat pokok bahasan yang mencakup biografi para ulama sufi di Nusantara dan karya penting mereka di bidang tasawuf. Karena itu, buku ini tidak hanya dapat dipelajari oleh kalangan mahasiswa dan akademisi, tetapi juga siapapun yang tertarik pada diskursus sufi. DATA BUKU JUDUL Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara Penulis M Solihin Penerbit Rajagrafindo Persada Tebal 349 halaman
TeoriIndia a. Teori Pertama Teori ini menyatakan bahwa Islam Indonesia berasal dari Gujarat dan Malabar. Pendapat ini dipelopori oleh Pijnapel, yang menelusuri Islam Indonesia kepada pengikut mazhab Syafi'i dari Gujurat dan Malabar. Apalagi kawasan ini sering disebut dalam sejarah purbakala Indonesia. Pendapat ini diikuti oleh ilmuan di p> Since the beginning of the archipelago, the archipelago has functioned as a cross-trade route for the West Asian, East Asian and South Asian regions. The arrival of Islam in the archipelago is full of debates, there are three main issues that historians debate. First, the place of origin of Islam. Second, the carriers. Third, the time of arrival. However, Islam has entered, grown and developed in the archipelago quite rapidly. Considering the arrival of Islam to the archipelago which at that time already had Hindu-Buddhist culture. So this is very encouraging because Islam is able to develop in the midst of the lives of people who already have strong and longstanding cultural roots. The arrival of Islam to the archipelago experienced various ways and dynamics, including trade, marriage, social culture, and so on. This causes the growth and development of Islam in this region has its own style. In addition, Ulama who came to the Nusantara region approached their people with an approach that tended to be gentle. In this case it is done with a philosophical approach to Sufism. This teaching is easily accepted and experiences rapid development in the midst of the Nusantara community so that Islam is more easily accepted. This paper uses a historical approach that emphasizes the aspects of time and chronology by using a heuristic approach, source criticism, synthesis and historiography which are characteristic of the final results of writing history.

Sejarah& Perkembangan Tasawuf--> Terkini; Populer; Kategori; Jelajahi. BERITA news Berkah Ramadhan bandar Lampung PENDIDIKAN WARTA android Manajemen OLAHRAGA Sepak Bola
0% found this document useful 0 votes716 views8 pagesCopyright© Attribution Non-Commercial BY-NCAvailable FormatsDOCX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?0% found this document useful 0 votes716 views8 pagesPerkembangan Tasawuf Di IndonesiaJump to Page You are on page 1of 8 You're Reading a Free Preview Pages 5 to 7 are not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.

Taqial-Din Ahmad ibn 'Abd al-Halim ibn Taimiyah lahir di Harran (sekarang di tenggara Turki) pada tanggal 22 Januari 1263. Ia lahir di keluarga penganut mazhab Hanbali yang melarikan diri dari ancaman Mongol. Keluarga Ibnu Taimiyah kemudian menetap di Damaskus pada 1269. Ia menghabiskan hidupnya di wilayah kesultanan Mamluk - Suriah, Mesir

- Bacaan manaqib Syekh Abdul Qadir Al-Jailani masih dilantunkan Kiai Uus dalam haul KH. Encep yang pertama di Bogor. Pembacaan ini menjadi rangkaian akhir acara setelah dilakukan pembacaan doa khatam Al-Qur’an dan tahlil. Usai manaqib dan doa penutup, jemaah yang datang mendapatkan suvenir dari tuan rumah berupa sarung yang dibungkus goodie bag berwarna merah. Makanan khas tahlilan juga didapatkan jemaah ketika acara berakhir. Manaqib merupakan memoar yang umumnya membahas riwayat hidup, garis keturunan, pendidikan, akhlak, keistimewaan-keistimewaan, hingga waktu wafatnya seorang tokoh besar yang dibacakan pada acara-acara tertentu, seperti syukuran, haul peringatan kematian, dan peringatan acara keislaman lain. Abdul Qadir Al-Jailani atau Al-Jaelani merupakan tokoh yang dianggap wali, sultannya para aulia, kerap dijuluki juga Kanjeng Tuan Syekh. Beliau merupakan tokoh sufi yang umumnya sering dibacakan dalam pembacaan manaqib di Indonesia. Tarekatnya memiliki pengaruh yang besar dalam khazanah keislaman di Nusantara. Awal Mula Tasawuf di Indonesia Pada awal masuknya Islam ke Indonesia, tasawuf menjadi salah satu tradisi intelektual yang berkembang pesat. Hampir semua ulama terkemuka pada periode itu adalah para sufi. Tasawuf atau sufisme masuk melalui berbagai jalur, termasuk melalui perdagangan, pernikahan, dan dakwah. Namun, pengaruh tasawuf di Indonesia pada awalnya terutama berasal dari para pedagang Arab, Persia, dan India yang berdagang ke wilayah membawa ajaran tasawuf dan menyebarkannya melalui aktivitas dagang di pelabuhan-pelabuhan utama. Mereka juga membawa kitab-kitab dan tulisan-tulisan tentang tasawuf yang kemudian dikaji dan dipelajari oleh masyarakat setempat. Pada awalnya tasawuf di Indonesia dipraktikkan secara individu dan tidak dianut sebagai sebuah tarekat. Namun, dengan berkembangnya jumlah orang yang tertarik dengan ajaran tasawuf, maka terjadilah transformasi tasawuf dari sekadar metode menjadi organisasi, yang kemudian dikenal dengan sebutan setempat yang tertarik dengan ajaran Islam kemudian berguru kepada para sufi dan membentuk komunitas-komunitas Islam yang berkembang menjadi pesantren dan majelis-majelis zikir. Ini terjadi antara abad ke-13 hingga ke-16, ketika tarekat-tarekat mulai tumbuh. Para sufi seperti Hamzah Fansuri yang bertarekat Qadiriyah, berperan penting dalam mengembangkan pemikiran tasawuf di Indonesia, yang kemudian membentuk tarekat-tarekat yang lebih terorganisasi. Tarekat-tarekat inilah yang menjadi tulang punggung dakwah Islam dan memainkan peranan penting dalam memperkuat akar Islam di Nusantara. Karya-karya Hamzah Fansuri seperti Syaran al-Asyiqin yang membicarakan tarekat, syariat, hakikat, dan makrifat bahkan dikenal luas dan diterjemahkan dalam bahasa Jawa. Manuskrip aslinya kini tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, dengan pengkodean Arifin dalam Sufi Nusantara Biografi, Karya Intelektual, & Pemikiran Tasawuf 2013 menulis bagaimana pengaruh Hamzah Fansuri lewat doktrin wahdat al-wujud menjadi rujukan Kesultanan Buton di Sulawesi, juga menjadi ilham lahirnya berbagai suluk di tanah Jawa. Periode berikutnya muncul beberapa tokoh awal tasawuf di Nusantara yang signifikan antara lain Syamsuddin As-Sumatrani, seorang syekh sufi yang banyak berkontribusi dalam bidang tasawuf dan menulis beberapa karya di antaranya Jauhar al-Haqa’iq, sebuah kitab berbahasa Arab yang berisi 30 halaman mengenai hakikat-hakikat tasawuf. Lantas ada Syekh Nuruddin Ar-Raniri, syekh sufi yang tinggal di Aceh pada abad ke-17. Ia mengarang kitab berbahasa Melayu Bustan al-Salatin yang membahas tentang etika dan moral dalam menjalankan pemerintahan. Selanjutnya ada Syekh Yusuf Al-Maqassari, syekh sufi yang berasal dari Sulawesi Selatan yang bertarekat Naqsyabandiyah. Ia banyak berperan dalam penyebaran agama Islam di wilayah Sulawesi dan melakukan perlawanan terhadap Belanda hingga diasingkan ke Afrika Selatan. Dalam perkembangannya, tasawuf di Indonesia juga dipengaruhi oleh tradisi keagamaan lokal seperti kejawen, kebatinan, dan mistisisme Jawa. Hal ini terlihat dalam cara pelaksanaan zikir atau wirid, serta dalam praktik-praktik keagamaan yang unik dan berbeda dengan praktik-praktik tasawuf di Timur Tengah. Pada masa ini lahirlah Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, dan tokoh sufi kontoversial, Syekh Siti Jenar. Peran Alawiyyin dan Wali Songo Perkembangan tasawuf di Indonesia setelah masa awalnya juga dapat dikatakan sebagai puncak penyebaran ajaran Islam, yakni sekitar abad ke-16 hingga ke-19. Pada masa ini, tasawuf berkembang pesat dan menjadi salah satu kekuatan besar dalam kehidupan sosial keagamaan Indonesia. Beberapa keturunan Nabi Muhammad yang berdatangan sejak abad ke-14, kemudian dikenal dengan Alawiyyin, juga memengaruhi corak dakwah dan tasawuf di Indonesia. Dibarengi dengan tarekat-tarekat sufi yang dikembangkan Wali Songo juga tumbuh subur. Salah satu Wali Songo ialah Sunan Bonang, beliau adalah putra dari Sunan Ampel. Ia mengajarkan tentang pentingnya menaklukkan tiga musuh utama manusia, yaitu dunia, hawa nafsu, dan setan. Lalu ada Sunan Kalijaga, dikenal sebagai tokoh sufi toleran yang menggabungkan ajaran Islam dengan budaya lokal. Mereka mengajarkan tasawuf melalui metode-metode yang sederhana dan mudah dipahami oleh masyarakat awam. Misalnya sering menggunakan bahasa dan simbol-simbol yang akrab dengan masyarakat, seperti kisah-kisah, puisi, kesenian wayang, dan musik, untuk menjelaskan konsep-konsep tasawuf yang kompleks. Para Wali Songo juga menekankan pentingnya bimbingan spiritual murid-syekh dalam praktik tasawuf. Mereka mengajarkan bahwa bimbingan dari seorang guru sufi yang terpercaya dan berpengalaman sangat penting dalam mengembangkan kemampuan spiritual seseorang. Abdul Wadud Kasyful Humam dalam Satu Tuhan Seribu Jalan 2013 menuturkan gambaran mengenai konsepsi akidah yang dianut Wali Songo dapat ditelusuri pada tokoh sentral Alawiyyin saat itu, Abdullah bin Alawi al­Haddad al-Husaini, yang menulis karya Ratib Al-Haddad, sebuah kitab mengenai amalan zikir dan doa-doa. Amalan ratib ini sering dibaca oleh umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, sebagai sarana mencapai kedekatan dengan Allah, mengingat-Nya, serta memohon perlindungan, keberkahan, dan ampunan-Nya. Peran Alawiyyin dan Wali Songo berpadu dalam bendera dakwah Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Mereka mengajarkan bahwa praktik tasawuf harus berdampak pada pemahaman seseorang yang lebih dalam tentang Allah SWT, perubahan positif dalam diri, serta membawa manfaat bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Tasawuf Indonesia di Era Kontemporer Pada masa ini, tasawuf tetap menjadi bagian penting dari kehidupan keagamaan di Indonesia. Orang-orang masih mengikuti tarekat-tarekat sufi dan mempraktikkan ajaran-ajaran tasawuf. Namun, tasawuf juga mengalami transformasi dan adaptasi dengan perkembangan zaman. Ada banyak kelompok sufi baru yang muncul dan mencoba menggabungkan ajaran tasawuf dengan ideologi-ideologi baru. Selain itu, tasawuf juga memainkan peran penting dalam gerakan-gerakan keagamaan di Indonesia seperti gerakan Islam modern dan gerakan keagamaan Islam politik. Tasawuf Modern merupakan buah pemikiran Buya Hamka, seorang ulama dan penulis yang dikenal sebagai tokoh Islam moderat. Bukunya berisi kajian yang memadukan antara tradisi tasawuf yang telah ada sejak lama dengan akal sehat dan rasionalitas modern. Buya Hamka meyakini bahwa tasawuf tidak hanya terbatas pada upaya spiritual semata, namun juga memperhatikan kehidupan dalam masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Dalam bukunya, ia menjelaskan tentang konsep kesatuan manusia dengan alam semesta yang menjadi dasar penting dalam pemikiran tasawuf modern. Karyanya masih dipelajari di berbagai ranah pendidikan hingga kini. Tokoh-tokoh tasawuf zaman kiwari lain yang memiliki banyak pengaruh misalnya KH. Maimoen Zubair, yang dikenal sebagai kiai kharismatik dengan penyampaian dakwahnya yang sederhana. Sebelum wafat, ia aktif di berbagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, seperti Nahdlatul Ulama NU, Partai Persatuan Pembangunan PPP, Majelis Ulama Indonesia MUI, dan Dewan Masjid Indonesia DMI. Tokoh sufi lain yang kerap menjadi rujukan berbagai kalangan tentu saja Habib Lutfi bin Yahya. Ia merupakan ulama pemimpin Tarekat Ba 'Alawiyya di Indonesia dan ketua Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh al-Mu’tabaroh an-Nahdliyyah JATMAN. Tentu saja masih banyak lagi tokoh-tokoh sufi terkenal di Indonesia selain yang disebutkan di atas, termasuk pesantren dan makam-makamnya yang masih menjadi tujuan berziarah, seperti Abah Anom dari Suralaya, Tasikmalaya. Lalu ada Syekh Abdul Muhyi dari Pamijahan, Tasikmalaya. Kemudian ada Abah Guru Sekumpul di Kalimantan. Tokoh-tokoh tersebut memiliki pengaruh yang besar dalam perkembangan tasawuf di Indonesia dan masih dihormati oleh banyak orang hingga saat ini. Infografik Mozaik Tasawuf di Indonesia. Pengelompokan Tarekat JATMAN menjadi wadah dalam mengorganisasi tarekat di Indonesia sejak didirikan pada 10 Oktober 1957. Dalam klasifikasinya, sebagaimana dikutip Kompas, terdapat dua pengelompokan tarekat, yakni tarekat mu'tabarah, tarekat yang sah karena memiliki silsilah yang terhubung hingga Nabi Muhammad. Kemudian tarekat ghairu mu'tabarah, tidak sah karena silsilahnya tarekat yang tergolong tarekat mu'tabarah di Indonesia dan diakui oleh NU antara lain Tarekat Qadiriyah, Tarekat Naqsyabandiyah, Tarekat Syadziliyah, Tarekat Syathariyah, Tarekat Sammaniyah, Tarekat Tijaniyah, dan Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah. Sementara tarekat ghairu mu'tabarah atau tidak sah, misalnya Tarekat Shiddiqiyyah di Jombang, Jawa Timur. Meskipun sebagian besar berpegang teguh pada taraket lama, namun ada juga tarekat yang sama sekali baru, bahkan dianggap menyesatkan. Pertengahan 1970-an pernah ada Tarekat Hak Maliah di Banten. Awal mulanya adalah seorang Haji Mustafa, yang konon belum pernah berhaji, mengadu nasib ke Banten bermodal surat keterangan dari Kejaksaan Jakarta Timur dan dokumen ringkas dari Golkar. Ditemani asistennya, ia hendak menyebarkan Tarekat Hak Maliah ke seluruh wilayah Banten. Seturut catatan Tempo edisi November 1976, dalam waktu singkat mereka berhasil mengumpulkan 92 pengikut. Ia mengadakan ritual menanam pisang ambon yang dikafani layaknya manusia. Makam itu kemudian dianggap keramat. Kejanggalan mulai tercium aparat Kodim 602 Serang saat ajaran ini mulai menyatakan bahwa Nabi Muhammad dan Imam Syafei itu tidak ada, wali ada sepuluh, yang satu Pangeran. “Adapun yang dimaksud dengan Pangeran itu adalah pisang ambon dalam makam keramat tadi,” tulis Tempo dalam artikel bertajuk “Aliran Pisang Ambon”. Meskipun tasawuf mengalami transformasi dan adaptasi dengan perkembangan zaman, ajaran-ajarannya tetap relevan pada kehidupan masyarakat, khususnya umat Islam dan secara komprehensif juga berdampak pada perjalanan bangsa Indonesia. - Sosial Budaya Kontributor Ali ZaenalPenulis Ali ZaenalEditor Irfan Teguh Pribadi

1 Norma hukum Islam harus diterima terlebih dahulu oleh hukum kebiasaan (adat masyarakat setempat) 2. Hukum Islam itu tidak boleh bertentangan ataupun tidak boleh telah ditentukan lain oleh ketentuan perundang-undangan Hindia Belanda. Setelah Indonesia merdeka berdasarkan Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 serta Pembukaan

Tulisanyang membahas tentang eksistensi tasawuf di Kalimantan Barat cenderung bersifat parsial. Oleh karena itu, tulisan ini akan mengungkap eksistensi tasawuf di seluruh wilayah Kalimantan Barat melalui perkembangan tarekat di berbagai daerah. SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM Di JAWA BARAT by Prof Nina Herlina Lubis dkk. By Abu Misykat.
soalsejarah 15 sma FORMAT KISI KISI SOAL UJIAN SEMESTER GANJIL 2008/2009. SMA K ST FRANSISKUS ASSISI SAMARINDA. Mata pelajaran : Sejarah. Klas : XI IPS. Waktu : 120 Menit.
pertanyaan tentang sejarah perkembangan tasawuf di indonesia
Laludiajukan rumusan masalah (pertanyaan penelitian): bagaimanakah kreativitas pemikir-pemikir Islam Indonesia dalam mengembangkan ilmu tasawuf mulai 1980 hingga sekarang (2014)? Untuk menjawab
YKSt.
  • 1162362kai.pages.dev/257
  • 1162362kai.pages.dev/162
  • 1162362kai.pages.dev/105
  • 1162362kai.pages.dev/35
  • 1162362kai.pages.dev/328
  • 1162362kai.pages.dev/382
  • 1162362kai.pages.dev/400
  • 1162362kai.pages.dev/306
  • pertanyaan tentang sejarah perkembangan tasawuf di indonesia